top of page

Kado Peti Mati Buat Rakyat, I Wayan: Agenda Pilkada 2020, Benar Penyelenggara Siapkan Peti Mati


Koordinatberita.com| SURABAYA~ Anggaran tambahan yang digelontorkan sekitar Rp 2,5 hingga Rp 5,6 triliun bahkan lebih. Anggaran ini diperlukan untuk penerapan protokol kesehatan karena pilkada digelar di tengah pandemi Covid-19. Namun pemilihan kepala daerah atau Pilkada serentak 2020 yang akan digelar 9 Desember mendatang sepertinya tetap diselenggarakan dan itu sama halnya memberikan kado peti mati kepada rakyat.


Melihat anggaran sebesar itu, sangat disayangkan bila pelaksaan Pilkada serentak yakni 270 di berbagai daerah yang komitmen menyelenggarakan Pilkada tetap diadakan. Kerena mengingat di musim tengahnya wabah virus covid-19 semakin meruncing.


Dengan kondisi yang tak memungkinkan ini, Menbuat salah satu aktivis hukum Universitas Airlangga (Unair) I Wayan Titip Sulaksana SH, MH, angkat bicara dengan protes keras terhadap KPU terlebih kepada pemerintah.


“Virus corona 19 itu tersebar melalui droplet dan airborn...lha kalau ada kumpulan manusia (massa) pd saat kampanye maupun pd saat pencoblosan, amat sangat mungkin terjadi cluster baru...nek wis ngene sopo sing tanggung jawab?..tentu penyelenggara pilkada..lha wong masjid aee ditutup dan enggak oleh jumatan...wedi timbul cluster baru..opo maneh pilkada...yoo opo pemerintah iki...” tulis Wayan melalui WhatsAppnya kepada Koordinatberita.com, Selasa 8/9/2020


Menurutnya, pertama pada awal covid-19 mulai mewabah ke Indonesia pemerintah mengalami kebingungan, panik bahkan ketakutan dengan pandemik yang mematikan. Sampai-sampai rakyat dilarang untuk melakukan aktivitas di tempat umum, bahkan ibadah di tepat peribadatan dilarang.


“Dulu, org rajin pergi kemasjid dinilai org soleh-solihah....sekarang orang rajin kemasjid dinilai salah...wiis edan kabeh,” ungkap Wayan dengan nada kesalnya.


Selain itu juga, yang membuat aneh pada pemerintah, saat giliran musim Pilkada serentak tidak dilarang atau ditunda. Padahal ini sama-sama bahaya, bahkan lebih berbahaya, pasalnya dalam Pilkada ini melibatkan orang (massa) secara langsung. Ini sama halnya penyelenggara KPU memberitakan kado peti mati untuk rakyat.


“Benar penyelenggara pilkada sdh mempersiapkan peti mati utk rakyatnya yg ikut serta dlm agenda pilkada....” tulisnya.


Mengingat perotes aktivis hukum ini yang tajam, Dia juga memberikan solusi terkait penyelenggaraan Pilkada, sebentar lagi mulainya berkampanya.


“Kampanye melalui media daring saja...seperti belajar dirumah melalui media daring...coblosan melalui media daring juga...kalau penyelenggara tdk mampu, yaa ditunda saja pilkadanya sampai situasi dan kondisi memungkinkan...ojok nekat sing dadi korban iku rakyat”. tulisan santun Waya di WhatsApp.


Senada dengan kutipan Tempo..co. Arak-arakan untuk mengantar pasangan calon mendaftar ke sejumlah kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah jelas berbahaya di masa pandemi ini. Komisi pemilihan, aparat keamanan, dan semua calon kepala daerah seharusnya mencegah kekonyolan yang bisa memperluas penularan Covid-19 itu.

Massa pendukung calon kepala daerah itu seperti tak peduli bahwa kurva Covid-19 di Indonesia kini sedang menanjak tajam. Satuan Tugas Covid-19 mencatat, hingga kemarin siang, jumlah kasus baru positif Covid-19 harian bertambah 3.444 orang. Secara total, 194.109 orang terinfeksi virus itu. Sebanyak 8.025 di antaranya meninggal.


Komisi pemilihan memang telah membuat aturan agar pasangan calon dan tim kampanye mematuhi protokol kesehatan. Namun ketentuan dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 itu seperti tak bergigi. Sanksi yang tercantum jelas hanya berupa teguran. Dengan ancaman sanksi yang ringan itu, komisi pemilihan dan aparat keamanan terbukti tak berdaya menghalau massa.


Sepanjang pandemi tak terkendali, jangankan arak-arakan di jalanan, kampanye tatap muka di ruang tertutup pun bisa menjadi kluster penularan Covid-19. Agar wabah tak makin meluas, sebelum memasuki tahap kampanye, komisi pemilihan seharusnya menetapkan protokol yang lebih ketat dengan sanksi yang lebih berat. Sanksi tak cukup untuk massa pendukung yang melanggar, tapi juga harus berlaku untuk pasangan calon yang memobilisasi mereka.


Kandidat yang tak peduli atas keselamatan pendukungnya bukan saja tak layak dipilih. Mereka bahkan layak didiskualifikasi sebelum mendatangkan mudarat yang lebih besar. Karena itu, semua pasangan calon seharusnya menghindari pengerahan massa dan memilih metode kampanye yang lebih aman, misalnya melalui pertemuan virtual atau pemanfaatan media sosial.


Lebih jauh lagi, pemerintah dan komisi pemilihan seharusnya membuat rencana darurat untuk mengantisipasi bila wabah semakin berkecamuk. Pemerintah Indonesia layak berkaca pada keputusan pemerintah negara lain. Ada negara yang menunda pemilihan umum, seperti Italia dan Cile. Ada juga yang mengoptimalkan pemilihan online, seperti Selandia Baru.@_Oirul

5 tampilan
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page