top of page
  • Gambar penulisR

Dakwaan Jaksa Pada Agus Setiawan Tjong Dinilai Salah Alamat


“Agus Setiawan Tjong Akui Tidak Mengkoordiner RT dan RW “

Koordinatberita.com,(Surabaya)- Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Agus Setiawan Jong (Tjong) atau AST terkait kasus korupsi dana hibah Pemkot Surabaya tahun anggaran 2016, dinilai sebagai dakwaan salah alamat. 

Ungkapan itu dinyatakan penasehat hukum AST, Hermawan Benhard Manurung, seusai mendampingi kliennya dalam sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Surabaya, Senin (18/3). 

Menurut Benhard, penanggung jawab utama dari dana hibah yang dikucurkan oleh pemerintah adalah penerima hibah. Sebab, mereka adalah pihak yang menandatangani Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), sebelum menerima pencairan dana. “Kalau dana hibah Penggung jawab tentu si penerima hibah, ini aneh malah pemilik perusahaan yang menerima order yang diproses.”Ujar Benhard, Senin (18/3). Agus Setiawan Tjong dalam perkara ini oleh jaksa dijerat dengan dakwaan pasal berlapis, yakni pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Subsidair pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) Undang Undang RI No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang RI Nomer 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang RI Nomer 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke – 1 KUHP. Adapun Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyidangkan perkara Agus Jong adalah dua orang Jaksa, diantaranya jaksa Fadhil dan Dieneke Apsari. Disinggung akan peran Agus Jong dalam kasus ini, Penuntut Umum tidak dapat memberikan jawaban konkrit. “Lihat aja sendiri kasusnya, susah saya ngomongnya.”singkat Jaksa Dieneke Apsari. Kasus ini sebelum ditangani oleh Kejaksaan Negeri Perak, pada pertengahan 2017 lebih dahulu diselidiki oleh Kejaksaan Negeri Surabaya. Namun perkara tersebut tiba-tiba beralih pada Kejari Perak. Agus Setiawan Jong merupakan Direktur dari PT Cahaya Sang Surya Dwi Sejati (CSSDS) selaku perusahaan yang menerima order dan produsen yang membuat barang-barang permintaan masyarakat melalui program Jasmas, produk dari DPRD Kota Surabaya. Sebanyak 230 RT/RW kala itu mengajukan proposal pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kota Surabaya, adapun isi proposal adalah permintaan dana hibah untuk membeli barang berupa Terop, Meja, kursi, dan Sound Sistem. “DPR dalam hal ini adalah penjembatan, Verifikasi pengajuan itu dikabulkan atau tidak, lalu berapa besaran dana yang disetujui adalah wewenang Pemkot Surabaya.”Ujar Benhard. Hal senada dikatakan Kepala Inspektorat Pemerintah kota Surabaya Sigit Sugiharso. Sebelum perkara ini ditangani pihak kejaksaan, pihaknya telah melakukan investigasi adanya dugaan penyelewengan dana hibah melalui laporan Badan Pemeriksa Keuangan. Namun menurut dia pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal dana hibah pemerintah adalah penerima hibah. Agus Setiawan Tjong Akui Tidak Mengkoordiner RT dan RW Dikesempatan yang sama, Agus Setiawan Jong menyatakan tidak pernah melakukan koordinasi dengan RT RW, yang mengajukan proposal, dia juga menegaskan tidak mengenal fraksi anggota DPRD dan juga pejabat lainnya. Agus Jong membantah dirinya disebut telah mengkoordinir 230 RT RW umtuk mengajukan proposal Jasmas. “Saya tidak kenal RT/RW, saya tidak kenal fraksi anggota DPRD saya tidak kenal Sekretaris Dewan (Sekwan).”Ujar Agus Jong, saat ditemui diruang sel tahanan pengadilan Tipikor Surabaya. Agus Jong menjelaskan, barang yang dipesan oleh RT RW dalam program Jasmas tersebut telah sesuai dengan standard yang dituangkan dalam proposal pengajuan. Bahkan, harga yang diberikan perusahaan Jong lebih murah dari perusahaan lain. Dalam proyek ini Agus Jong mengaku mengalami kerugian miliaran rupiah. “Specknya sesuai, harganya lebih murah 30 sampai 40 persen dari perusahaan lain. [saya] rugi milyaran, sekitar Rp. 2 Miliar.”ungkap Jong. Pengakuan Agus Jong dinilai Benhard makin memperjelas perannya dalam kasus ini, dia menilai dakwan penuntut umum pada kliennya adalah dakwaan salah alamat karena tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang penanganan tindak pidana korupsi (tipikor) oleh korporasi atau perusahaan. “Jadi bertentangan dengan Perma Nomer 13 tahun 2016, korporasi atau perusahaan biasanya di proses di ujung penyidikan atau setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetep, sehingga terbukti adanya keterlibatan atau bersama-sama melakukan korupsi.”paparnya.@_Oirul


14 tampilan

Postingan Terakhir

Lihat Semua
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page