top of page

Larangan dalam draf revisi dianggap batasi hak publik, Peneliti: Revisi UU Penyiaran Berpotensi Ancam Kebebasan Pers


"Memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda. Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial," jelas Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (24/4/2024).
"Memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda. Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial," jelas Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (24/4/2024).

KOORDINATBERITA.COM | Jakarta – Proses revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran tengah berjalan. Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran 2 Oktober 2023 meluaskan cakupan wilayah penyiaran menjadi bukan hanya penyiaran konvensional seperti TV dan radio, melainkan juga mencakup penyiaran digital.


Sebagai konsekuensi dari perluasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), maka platform digital seperti Netflix, Amazon Prime, Vidio, dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru serta diatur oleh KPI. Perubahan itu dinilai dapat mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital.


"Memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda. Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial," jelas Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (24/4/2024).


Dia menjelaskan, salah satu hal yang menjadi perhatian adalah pasal 56 ayat 2 yang berisi larangan atas berbagai jenis konten penyiaran, baik konvensional maupun digital. 


Larangan-larangan tersebut mencakup tayangan terkait narkoba, perjudian, rokok, alkohol, kekerasan, atau unsur mistik. Beberapa jenis konten yang dilarang pun dinilai multiinterpretasi sehingga rentan untuk digunakan secara semena-mena.


“Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik untuk mendapat konten yang beragam. Padahal di platform digital publik memiliki agensi lebih besar untuk memilih dan menyaring tontonan, berbeda dengan penyiaran konvensional," kata dia.


Revisi itu juga dia sebut memuat larangan atas tayangan yang menampilkan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif, dan larangan atas rekayasa negatif informasi dan hiburan. Ketentuan semacam itu dia nilai dapat sangat multitafsir dan berpotensi disalahgunakan.


Sementara itu, konsekuensi lain dari perluasan dalam revisi UU Penyiaran adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan KPI. 


Hal itu dinilai dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan karena selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana mandat Undang-Undang Pers.


“Pada pasal 25 ayat 1q disebutkan wewenang menangani sengketa jurnalistik hanya oleh KPI. Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draft RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik," kata Pengurus Nasional Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bayu Wardhana.


Selain itu, pada pasal 56 ayat 2 juga terkandung larangan atas penayangan eksklusif jurnalistik investigasi (huruf c). Klausul itu dia nilai dapat mengancam kebebasan pers dan membuat bingung.


"Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata,”ucap Bayu.


Dilansir dari situs resmi DPR RI, proses revisi UU Penyiaran saat ini sudah ada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI setelah sebelumnya disempurnakan oleh Komisi I DPR RI. Rencananya, revisi UU Penyiaran ditargetkan selesai pada tahun ini.


Namun, proses itu dinilai terburu-buru dan tidak transparan. Yovantra mengingatkan, draft RUU ini harus dibahas ulang dengan melibatkan lebih banyak aktor mengingat masih terdapat banyak pasal bermasalah yang berpotensi mematikan kreativitas di ruang digital.


“Tidak bisa asal memasukkan penyiaran digital ke dalam UU Penyiaran, kita harus lihat bagaimana logika teknologi dan industrinya bekerja, supaya tidak malah mematikan industri dan kreativitas. Oleh karenanya RUU ini harus dibahas ulang dengan partisipasi yang lebih luas," kata  Yovantra.


Bayu Wardhana pun menyatakan, pasal yang mengancam kebebasan pers pun perlu segera dicabut. Jika hendak mengatur karya jurnalistik di penyiaran, sebaiknya merujuk pada UU Pers no 40/1999. "Pada konsideran draft RUU ini sama sekali tidak mencantumkan UU Pers," jelas Bayu.@_Network

15 tampilan
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page