top of page

Impor Biozek yang Didatangkan Kimia Farma dari Belanda, Diduga Bermasalah

“Impor Alkes, Tergelincir di Apeldoorn”

Koordinatberita.com| NASIONAL~ Alat uji cepat Biozek yang didatangkan Kimia Farma dari Belanda diduga bermasalah. Hasil investigasi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) bersama Tempo menunjukkan alat itu diproduksi di Cina. Sejumlah penelitian

pun menunjukkan akurasi Biozek rendah. Dijual seharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah per unit, Biozek telah menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Istana.

MENEMBUS udara dingin, Fandji Yudha Yudistira bertandang ke Apeldoorn, kota kecil di Provinsi Gelderland, Belanda, pada Selasa, 7 April lalu. Asisten Manajer Pengadaan Langsung Strategis PT Kimia Farma itu langsung mengunjungi kantor perusahaan farmasi Inzek International Trading BV untuk mengecek peralatan rapid test merek Biozek.


“Saya ke sana memastikan barang tersebut ada dan jumlahnya sesuai dengan yang kami minta,” kata Fandji menceritakan kunjungan tersebut kepada Tempo melalui video konferensi pada Rabu, 6 Mei lalu.


Fandji, yang ditemani dua perwakilan dari Kedutaan Indonesia di Belanda, tak menyaksikan langsung produksi alat tersebut. Dia melihat hanya ada sekitar sepuluh pekerja di area itu. Sebagian di antaranya sedang mengepak peralatan uji cepat. Menurut Fandji, semua barang yang dipesan Kimia Farma sudah tersimpan rapi di gudang dan siap dikirim.


Meyakini jumlah barang telah sesuai dengan

membuka boks sebagai sampel, Fandji meneken letter of credit sebagai tanda pembayaran.

Tiga hari kemudian, 300 ribu alat rapid test

merek Biozek pesanan Kimia Farma dikirim ke

Indonesia. Dalam siaran pers yang dikeluarkan

Mach-E, distributor Biozek untuk Indonesia,

disebutkan bahwa alat uji cepat itu dikembangkan dan diproduksi di bawah regulasi Uni Eropa dan pemerintah Belanda yang sangat ketat dan tidak memberikan ruang untuk kesalahan. Rilis tersebut juga mengklaim bahwa Biozek sangat andal dan aman.

Direktur Produksi dan Supply Chain Kimia Farma Andi Prazos mengatakan kesepakatan dengan Inzek terjadi pada awal April lalu. Menurut dia, pembelian itu berdasarkan rekomendasi bagian pengembangan bisnis Kimia Farma. Andi menyebutkan Inzek juga mengizinkan perwakilan Kimia Farma datang mengunjungi mereka.


“Ada sejumlah produsen yang tidak membolehkan kami menemui mereka, sehingga kami tidak jadi deal,” ujar Andi.


Kimia Farma, kata Andi, memiliki prosedur tetap bahwa pembelian harus dilakukan setelah mengecek kualitas dan ketersediaan barang yang diproduksi. Apalagi kerja sama dengan Inzek baru pertama kali dilakukan. Andi pun meyakini Biozek benar-benar diproduksi di Apeldoorn. Situs Biozek juga menyebutkan, “Produk kami adalah buatan Belanda dengan tanda CE (Conformitè Europëenne) serta disetujui oleh Otoritas Makanan dan Obat-obatan Saudi.


Namun hasil penelusuran Organized Crime and Corruption Reporting Project bersama sejumlah media lintas negara, termasuk Tempo, menunjukkan Biozek tidak diproduksi di Belanda. Alat tersebut diduga diproduksi di Cina oleh Hangzhou AllTest Biotech Co Ltd. OCCRP menemukan alat itu hanya dikemas ulang dengan merek Biozek.


Indikasi lain terlihat dari sertifikat analisis yang

diterima Kimia Farma dari Inzek. Dalam sertifikat yang dikeluarkan pada 20 Maret 2020 itu, tercantum nama C. Kael sebagai supervisor pengendali kualitas. Penelusuran OCCRP menunjukkan Kael juga menjadi anggota staf riset dan pengembangan AllTest Biotech.


Dihubungi beberapa kali pada Maret-April lalu,

Chief Executive Officer Inzek International

Trading BV Zeki Hamid mengakui peralatan rapid test Biozek diproduksi di Cina. Ia berkilah bahwa situs Biozek tak bermaksud menyebut alat itu diproduksi di Belanda. “Melainkan merupakan merek Belanda,” katanya. Belakangan, frasa “buatan Belanda” dihapus dari situs Biozek.

AllTest, juga Inzek, mengklaim alat uji cepat

tersebut memiliki akurasi hingga 92,9 persen

untuk mendeteksi immunoglobulin M (IgM) dan 98,6 persen untuk mendeteksi immunoglobulin G (IgG). Keduanya adalah antibodi yang diproduksi tubuh saat terkena infeksi bakteri, kuman, atau virus. Adapun peralatan uji cepat dengan sistem antibodi mendeteksi kehadiran dua jenis antibodi

tersebut.


Sejumlah penelitian menunjukkan hasil bertolak belakang. Penelitian Profesor Sir John Bell dari Oxford University terhadap sejumlah alat tes produksi Cina-termasuk AllTest-menunjukkan tingkat akurasi peralatan uji cepat itu jauh lebih rendah. Buntut dari penelitian ini, Inggris membatalkan pembelian jutaan alat tes asal Cina tersebut. Adapun AllTest, dalam keterangan resmi menanggapi laporan tentang pesanan Inggris, menyatakan produknya tidak cocok untuk penyaringan awal dan hanya digunakan sebagai “metode tambahan” untuk tes lain.


Studi non-peer review dari Spanyol pada 11 April yang diterbitkan MedRxiv-arkaiv, jurnal ilmiah yang antara lain didirikan Yale University, menyebutkan, dari 55 sampel positif berdasarkan tes polymerase chain reaction (PCR), lebih dari setengahnya dinyatakan negatif palsu melalui pengujian AllTest. Metode PCR mampu mendeteksi materi genetik virus secara akurat. Tingkat sensitivitas alat yang hanya 47 persen meningkat menjadi 74 persen saat diujikan pada pasien yang telah empat pekan terpapar corona. Penulis penelitian tersebut, Juan Cuadros Gonzales, menyatakan alat produksi AllTest hanya bisa digunakan sebagai pelengkap tes PCR setelah empat minggu timbul gejala corona.


Direktur Produksi dan Supply Chain Andi Prazos mengatakan Kimia Farma akan bersurat resmi dengan Inzek untuk meminta penjelasan soal tersebut. Andi mengatakan telah menerima keterangan dari Mach-E tentang penelitian The Institut Pasteur, yayasan swasta nirlaba Prancis untuk studi biologi, penyakit, dan vaksin, yang menyatakan Biozek telah melewati uji klinis.

Dokumen itu dirilis pada 3 Mei lalu. Inzek dalam rilis tertanggal 7 Mei lalu menyebutkan penelitian yang menunjukkan akurasi Biozek lemah tak berdasar.


Marien de Jonge, ilmuwan yang terlibat dalam

penelitian Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 di Pusat Medis Universitas Radboud-kampus yang berfokus pada riset-di Belanda, mengatakan ketidakakuratan alat uji cepat sangat berbahaya. Apalagi jika hasilnya negatif palsu, karena bisa membahayakan orang lain. “Negatif palsu adalah Pada 27 Maret lalu, warga Makedonia Utara, Rodzer Zekirovski, mendapat hasil negatif setelah menjalani tes cepat dengan alat merek Biozek disebuah klinik swasta. Sebelumnya, dia sempat mengalami gejala terjangkit corona, yaitu demam dan batuk kering. Istri Zekirovski, Gjultena, mengatakan keluarga langsung memeluk dan mencium suaminya setelah mengetahui dia tak terpapar corona.


SEKALIPUN sejumlah penelitian mempersoalkan akurasinya, Biozek tetap masuk daftar yang direkomendasikan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Didatangkan pada 10 April lalu, Biozek masuk daftar rekomendasi Gugus Tugas yang dirilis pada 28 April lalu dengan nama Covid-19 IgG/IgM Rapid Test Cassette-Biozek Inzek International Trading. Informasi itu baru diunggah ke situs pada Selasa, 5 Mei lalu. Andi Prazos mengakui produk tersebut baru didaftarkan pada Ahad, 3 Mei lalu.


Menurut Andi, Sebelum rekomendasi dari Gugus Tugas keluar, Kimia Farma mengimpor Biozek melalui jalur special access scheme, yang izinnya dikeluarkan Kementerian Kesehatan. Izin impor diajukan Kimia Farma pada Selasa, 24 Maret lalu, dan terbit hanya dalam waktu dua hari.


Setelah virus corona mewabah, pemerintah

menerbitkan aturan yang mempermudah

perizinan impor alat kesehatan. Keputusan

Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang

Perubahan Kepres Nomor 7 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyebutkan mendeteksi materi genetik virus secara akurat.


Percepatan Penanganan Covid-19 menyebutkan barang yang belum teregister di Indonesia bisa diimpor dengan cara mengajukan permohonan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana melalui sistem online Indonesia atau national single window.

Cara itu memberikan kemudahan bagi masuknya sejumlah peralatan rapid test. Contohnya, alat merek VivaDiag yang diproduksi perusahaan Cina, VivaChek Biotech Hangzhou Co Ltd, mendapat rekomendasi pengecualian izin impor dari BNPB pada 31 Maret lalu. Didatangkan PT

Kirana Jaya Lestari, VivaDiag juga

direkomendasikan mendapat pembebasan bea masuk dan pajak impor.


Kepala Biro Hukum, Organisasi, dan Kerja Sama BNPB Zaherman Muabezi, yang menandatangani izin impor untuk VivaDiag, mengatakan PT Kirana tidak mendapat keringanan dan tetap membayar bea masuk serta pajak lain kurang-lebih Rp 4 miliar.


Pada 30 April lalu, hasil tes VivaDiag terhadap 443 warga Banjar Serokadan, Kabupaten Bangli, Bali, menunjukkan hasil positif. Belakangan, setelah mereka menjalani uji usap atau swab test, hanya ada satu orang yang positif corona. Aurelia Ira Lestari, Direktur PT Kirana Jaya Lestari, perusahaan yang mengimpor VivaDiag, menyatakan alat VivaDiag bernomor 3097 sudah ditarik dari seluruh fasilitas kesehatan.


“METODE PCR DIPERLUKAN UNTUK

PENEGAKAN DIAGNOSIS YANG TEPAT

DAN PENANGANAN YANG CEPAT.”


- Guru besar biokimia dan biologi molekuler

Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom

VivaDiag masuk daftar yang direkomendasikan Gugus Tugas Covid-19 pada 25 Maret lalu. Wiku Adisasmito, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas, menyebutkan semua rapid test yang masuk rekomendasi Gugus Tugas memiliki sertifikasi Conformitè Europëenne, Food and Drug Administration, atau sertifikasi yang setara. “Produk rapid test antibodi dari luar negeri tidak bisa dimasukkan ke daftar rekomendasi bila tidak memenuhi syarat itu,” ujar Wiku.


HINGGA Rabu, 6 Mei lalu, Kimia Farma telah

mendistribusikan lebih dari 181 ribu alat uji cepat Biozek ke 58 rumah sakit dan 28 dinas kesehatan di berbagai wilayah, seperti Aceh, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Papua. Direktur Produksi dan Supply Chain Kimia Farma Andi Prazos mengatakan perusahaannya hanya menyalurkan barang tersebut ke rumah sakit dan dinas kesehatan. “Tidak dijual ke perorangan,” ujarnya.


Namun alat tes cepat itu tidak hanya dijual Kimia Farma. Di sejumlah situs belanja online dan media sosial, sejumlah orang memperdagangkan Biozek dengan harga tinggi. Satu akun Instagram, misalnya, menjual satu boks Biozek berisi 30 unit dengan harga Rp 8,8 juta. Akun lain bahkan menjual dengan harga Rp 13 juta per boks. Biozek juga disebut-sebut diimpor pengusaha asal Makassar, Erwin Aksa Mahmud. Berita online menyebutkan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia itu mendatangkan puluhan ribu Biozek yang di antaranya diberikan kepada pemerintah. Tapi, ketika dimintai konfirmasi, dia membantah. “Saya hanya dikasih contoh sama orang,” ujarnya.


Pemerintah daerah juga menggunakan Biozek

untuk melakukan screening. Kepala Bidang

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas

Kesehatan Kabupaten Tangerang Hendra Tarmizi mengatakan pihaknya mendapat bantuan rapid test merek VivaDiag dari Provinsi Banten dan merek Biozek dari swasta. Adapun Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam Didi Kusmardjadi mengaku membeli Biozek dari rekanan Kimia Farma sebanyak 3.000 unit. “Stoknya saat ini di kami hanya tinggal 270,” ucapnya.


Istana pun menggunakan Biozek. Seorang tamu Istana bercerita pernah menjalani uji cepat dengan alat tersebut. Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono saat ditanyai soal penggunaan Biozek menjawab, “Tamu di-rapid test.” Seorang pejabat negara yang pernah ditemui Tempo pun menggunakan Biozek. Ketika berkunjung ke rumahnya, Tempo mesti menjalani uji cepat dengan alat itu.


“TES PCR MEMILIKI AKURASI PALING

TINGGI DALAM MENDETEKSI VIRUS."


Peneliti Lembaga Kajian dan Konsultasi

Pembangunan Kesehatan, Halik Malik

Di sejumlah fasilitas kesehatan, biaya pelayanan tes cepat mencapai lebih dari Rp 500 ribu. Di salah satu rumah sakit swasta di Kota Bogor, Jawa Barat, biaya uji cepat dengan Biozek mencapai Rp 550 ribu. Sedangkan di laboratorium klinik Kimia Farma yang dihubungi Tempo, biayanya Rp 650 ribu.


Penelusuran Organized Crime and Corruption Reporting Project menunjukkan harga pasaran Biozek sebenarnya hanya 5 euro atau sekitar Rp 80 ribu per unit. Seorang pejabat di Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengatakan harga beli Biozek tak sampai US$ 3 per unit atau di bawah Rp 45 ribu.


Ihwal produknya yang dijual dengan harga mahal, Chief Executive Officer Inzek International Trading BV Zeki Hamid mengaku tak senang alat itu dijual lebih dari 10 euro atau sekitar Rp 160 ribu. Adapun Direktur Produksi dan Supply Chain Kimia Farma Andi Prazos enggan memberitahukan harga beli Biozek. “Kalau dibuka, sama saja saya buka rahasia dapur,” katanya.


Sumber: Devy

Ernis/ Majalah Tempo.

DEVY ERNIS, WAYAN AGUS PURNOMO.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, AYU CIPTA

(TANGERANG), YOGI EKA SAHPUTRA (BATAM) BERSAMA TIM PELIPUT OCCRP

37 tampilan
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page