top of page

Eks Jaksa Pinangki Dapat Diskon Hukuman, ICW Nilai Hakim Mengada-ada


Terdakwa kasus suap pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari (tengah) bersiap untuk mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 23 September 2020. Sidang tersebut beragendakan pembacaan dakwaan dalam kasus dugaan suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh pihak Jaksa Penuntut Umum.
Terdakwa kasus suap pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari (tengah) bersiap untuk mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 23 September 2020. Sidang tersebut beragendakan pembacaan dakwaan dalam kasus dugaan suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh pihak Jaksa Penuntut Umum.

Koordinatberita.com| JAKARTA- Pengadilan banding mendiskon hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Padahal, di pengadilan tingkat pertama, sang jaksa terbukti menerima suap, mencuci uang hasil kejahatan, dan membuat permufakatan jahat untuk meloloskan Joko Soegiarto Tjandra. Dalih hakim meringankan hukuman, bahwa Pinangki adalah seorang ibu yang harus merawat anaknya, tak pernah berlaku untuk terdakwa perempuan lainnya. Dianggap mengada-ada dan mencederai keadilan.


Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai alasan hakim Pengadilan Tinggi DKI menyunat vonis

eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun terlalu mengada-ngada. “Sebab kejahatan yang dilakukan Pinangki jauh melampaui argumentasi majelis hakim tersebut,” kata Kurnia kepada Tempo, Rabu, 16 Juni 2021.


Dalam amar putusan, salah satu pertimbangan hakim mengurangi vonis Pinangki karena seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.


Menurut Kurnia, putusan tersebut semestinya berorientasi pada perbuatan dan dampak atas kejahatan Pinangki. Ia menilai jelas sekali perbuatan Pinangki bersentuhan langsung dengan tiga kejahatan, yaitu mulai dari suap, tindak pidana pencucian uang, dan pemufakatan jahat.


“Selain itu, dampak kejahatan tersebut secara langsung menurunkan kepercayaan publik pada institusi penegak hukum dan juga mencoreng citra Kejaksaan Agung,” ujarnya.


Senada, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia menilai putusan ini telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Selaku jaksa, Pinangki seharusnya menangkap Joko, tetapi malah membantunya untuk bebas. Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menuntut jaksa segera mengajukan kasasi terhadap putusan Jaksa Pinangki.

———


Sementara Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budi Santoso mengatakan belum mengambil sikap soal potongan hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari di tingkat banding.


Kejaksaan masih menunggu salinan putusan lengkap. "JPU harus pelajari putusannya terlebih dulu, khususnya pertimbangannya. Setelah itu baru bisa bersikap," kata dia lewat pesan teks, Selasa, 5 Juni 2021.


Menurut Riono, hingga saat ini kejaksaan belum menerima salinan putusan banding. "Sampai sekarang kami belum terima salinan putusan bandingnya," kata dia.


Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun, menjadi 4 tahun penjara. Pinangki adalah terdakwa penerima suap dari Djoko Tjandra dan terdakwa pencucian uang.


Untuk diketauhi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya memvonis Pinangki 10 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan dalam kasus korupsi pengurusan fatwa bebas Djoko Tjandra di Mahkamah Agung.


Dalam perkara ini, mantan Jaksa Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana, yaitu terbukti menerima suap sebesar US$ 500 ribu dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Selain itu, ia dinilai terbukti melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp 5.253.905.036,00. Uang tersebut adalah bagian dari uang suap yang diberikan Djoko Tjandra.@_**

11 tampilan
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page