top of page

Pemkot Surabaya Ingin Rampas, Pemilik Surat Ijo di 31 Kecamatan

“Sikap Protes Dilakukan Warga Barata Jaya dan Dukuh Kupang“

Ilustrasi


Koordinatberita.com,(Surabaya)– Sikap protes pemilik tanah surat ijo atau Ijin Pemakaian Tanah (IPT) yang tersebar di 31 Kecamatan se Surabaya tak hanya dilakukan warga Barata Jaya, hal yang sama juga disuarakan oleh warga Dukuh Kupang.

Mereka menilai, bila tanah yang diklaim milik Pemkot Surabaya itu merupakan peninggalan dari bangsa asing yang saat itu ingin menguasai negara Indonesia.


" Bahwa Surat Ijo merupakan tanah rampasan dari pihak Belanda selaku penjajah." jelas Rudy warga Dukuh Kupang, Selasa (9/4).


Nah, dengan adanya riwayat tersebut, seharusnya Pemkot Surabaya segera mengembalikannya ke Negara bukan malah menguasainya.


" Oleh karena itu seharusnya dikembalikan kepada Negara. Itu berdasarkan UUD 45." tegasnya.


Ia juga berpendapat, dengan dikembalikannya ke negara maka seharusnya pihak Kementerian dalam negeri (Kemendagri) harusnya bersama BPN mencatat objek Surat Ijo lantas mendatanya. Sayangnya oleh Pemkot Surabaya selaku kepanjangan tangan dari Kemendagri tidak juga melakukan sertifikasi.


" Alasan hukum seperti apa surat ijo dapat dijadikan asset Pemkot Surabaya?" pungkasnya.


Seperti diberitakan, aksi protes warga Pemukim surat ijo terbebas dari membayar retribusi IPT ke Pemkot Surabaya diperlihatkan dengan memasang spanduk atau banner.


Mereka mendesak Pemkot Surabaya harus mencabut Perda 16 Nomor 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset Pemkot Surabaya, Perda 3/2016 tentang Izin Pemakaian Tanah, dan Perwali 9/2018 tentang Perubahan Tarif Retribusi Kekayaan daerah.

Sayangnya aksi penolakan dengan memasang spanduk atau banner langsung mendapat reaksi dari Pemkot Surabaya.


Asisten Administrasi Umum Sekretariat Daerah Kota Surabaya Hidayat Syah mengatakan regulasi surat Izin Pemakaian Tanah (IPT) ini terbit di 31 kecamatan di Kota Surabaya, dengan total luasannya sekitar 8.928.252 meter persegi atau biasa disebut “Surat Ijo” telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-Undang (UU). Pertama, UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN), Permendagri No 19 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Keempat, Peraturan Daerah No 13 Tahun 2010 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana telah diubah menjadi Perda No 2 Tahun 2013. Kelima, Peraturan Daerah No 16 tahun 2014 Tentang Pelepasan Tanah Aset Pemkot Surabaya. Keenam Peraturan Daerah Kota Surabaya No 3 Tahun 2016 Tentang Izin Pemakaian Tanah.


Pemkot Surabaya telah memberikan solusi atas penanganan masalah Izin Pemakaian Tanah. Mulai dari memberikan keringanan pembayaran IPT atau keringanan di retribusi, pembebasan biaya retribusi untuk penggunaan fasilitas umum seperti Balai RW dan Masjid, hingga memberikan solusi terkait pelepasan izin pemakaian tanah, namun ada batasan maksimal sekitar 250 meter persegi.


Terlebih, Pemkot Surabaya sebelumnya telah melakukan konsultasi ke berbagai pihak termasuk Kemendagri, agar pelepasan tanah aset tidak dengan ganti rugi 100 persen. Namun, hal ini ditolak, karena pelepasan tanah aset harus patuh pada Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007.


Aturan itu, menyebutkan bahwa pelepasan hak atas ganti rugi dapat diproses dengan pertimbangan menguntungkan daerah. Kedua, perhitungan perkiraan nilai tanah yang dilepaskan dilakukan oleh penilai intern atau lembaga independen dengan memperhatikan NJOP atau harga umum setempat.

Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT), Maria Theresia Ekawati Rahayu menyampaikan pada prinsipnya pihaknya berupaya untuk menyelesaikan permasalahan atas tuntutan masyarakat selaku pemegang IPT (Surat Ijo). Tentunya, upaya penyelesaian yang dilakukan Pemkot Surabaya ini tidak bisa keluar dari peraturan hukum yang berlaku.


Oleh karena itu, pihaknya telah merumuskan penyelesaian permasalahan itu di dalam Peraturan Daerah No 16 Tahun 2014 sudah diatur bagaimana mekanisme pelepasan tanah aset Pemkot Surabaya yang menjadi objek izin IPT. Namun, jika tuntutan masyarakat agar para pemegang IPT itu dilepaskan secara cuma-cuma, tentunya ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Artinya semuanya harus patuh dengan ketentuan itu.


Namun, jika masyarakat pemegang IPT tidak patuh terhadap regulasi tersebut, pastinya ada konsekuensi-konsekuensi yang harus mereka tanggung. Tapi, ia menegaskan Pemkot Surabaya terus berupaya untuk menyelesaikan masalah IPT, namun tidak dengan cara yang melanggar hukum.

Di sisi lain, jika masyarakat enggan untuk melakukan pembayaran retribusi IPT, hal ini akan berdampak pada pendapatan yang seharusnya diterima dan menjadi pendapatan asli daerah.


Ia menambahkan Pemkot Surabaya tidak bisa serta-merta membatalkan Perda yang telah berjalan, sebab proses pembatalan Perda harus melalui mekanisme hukum.


Disamping itu, Perda Tentang Pemungutan Retribusi Kekayaan Daerah, sebelumnya sudah dilakukan pengujian oleh Mahkamah Agung (MA) dan itu telah dinyatakan sah. Menurut dia, ada denda yang harus dibayarkan masyarakat jika menunggak dalam melakukan pembayaran IPT.

Bahkan, Pemkot Surabaya berhak untuk melakukan pencabutan pemegang IPT bagi mereka yang tidak patuh terhadap regulasi tersebut.


Asisten Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Surabaya Yayuk Eko Agustin menyampaikan terkait adanya aksi-aksi penolakan yang dilakukan masyarakat terhadap Peraturan Daerah No 13 Tahun 2010, ia mengimbau, agar masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan upaya atau isu-isu yang bersifat melanggar hukum. Apalagi, saat ini tengah memasuki tahun politik.


Yayuk menambahkan sudah ada Judicial Review (hak uji materil) tentang aturan-aturan itu. Bahkan, tahun 2015 pernah ada gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Agung (MA) agar dilakukan uji materi terhadap Peraturan Daerah No 13 Tahun 2010 yang telah diubah menjadi Perda No 2 Tahun 2013 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.@_Rf/Oirul

51 tampilan
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page