top of page

Istana, Dikabarkan Gerah Terhadap Menteri Kesehatan, Terkait Penyebaran Virus Corona

”Hingga Menteri Luar Negeri RI, Lobi Corono di Jenewa”

Koordinatberita.com| NASIONAL~ Keterbukaan pemerintah mendeteksi dan menangani penyebaran virus corona dipertanyakan oleh dunia internasional dan di dalam negeri. Menteri Luar Negeri pun melobi Badan Kesehatan Dunia. Menunjuk juru bicara penanganan corona, Istana

dikabarkan gerah terhadap MenteriKesehatan.

“PECAH telur” kasus corona di Indonesia akhirnya disampaikan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka pada Senin, 2 Maret lalu. Bersama Menteri Kesehatan, Jokowi mengumumkan dua pasien, ibu dan anak, yang terkena virus corona. Keduanya diduga terpapar dari warga negara Jepang yang positif terkena corona dan sempat ke Indonesia pada pertengahan Februari lalu.


Jokowi mengklaim pendeteksian terhadap dua

pasien itu merupakan hasil penelusuran pemerintah setelah mendapat informasi bahwa warga Jepang itu singgah ke Indonesia.


“Tim dari Indonesia langsung menelusuri,” kata Presiden. Seusai jumpa pers, Menteri Kesehatan Terawan pun mengatakan proses pelacakan sudah dilakukan. “Sedang ditelusuri ketemu siapa saja,” ujarnya.


Pernyataan Jokowi dan Terawan tersebut

mengagetkan sejumlah pejabat di Kementerian Kesehatan, yang pagi itu menggelar rapat mendadak. Dua pejabat kementerian ini bercerita, agenda rapat yang seharusnya juga dihadiri Terawan itu membahas dua pasien yang terpapar Corona Virus Disease 19 atau Covid-19. Mereka masih membahas rencana mitigasi setelah kasus itu diumumkan kepada publik. Mereka juga mendiskusikan rencana pelacakan terhadap orang-orang yang sempat berkontak fisik dengan dua korban. Tapi tiba-tiba saja kabar itu sudah diumumkan kepada publik.


Keterangan pemerintah juga berbeda dengan keterangan pasien yang merupakan warga Depok, Jawa Barat, itu. Melalui siaran pers, pasien itu mengatakan dialah yang memberi tahu dokter di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok soal pertemuannya dengan warga negara Jepang yang terinfeksi corona. Informasi ini disampaikannya pada Jumat, 28 Februari lalu, setelah mendapat telepon dari temannya di Malaysia yang mengabarkan warga negara Jepang itu dinyatakanpositif corona dua hari sebelumnya.

Saat itu, perempuan 31 tahun tersebut baru satu hari dirawat di Mitra Keluarga.”Demi keamanan dan kesehatan nasional, saya informasikan kepada dokter,” ujarnya. Barulah pada Ahad, 1 Maret lalu, perempuan itu dan ibunya dipindahkan ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta.

Malam itu, Sekretaris Daerah Kota Depok Hardiono juga sudah mengetahui ihwal dua warganya yang terpapar virus corona. Namun, melalui pesan WhatsApp, dia diminta Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Pembangunan dan Pembiayaan Kesehatan Alexander Kaliaga Ginting tak memberitahukan kejadian itu kepada siapapun. Tujuannya adalah mencegah kegaduhan di masyarakat.


Alexander membenarkan soal permintaannya

tersebut. Menurut purnawirawan brigadir

jenderal yang juga dokter paru di Rumah Sakit

Mitra Keluarga Depok ini, malam itu pemeriksaan terhadap pasien suspek corona belum tuntas sehingga tak patut dipublikasikan. “Itu rahasia kedokteran dan orang yang berstatus dalam pengawasan tak boleh dibuka datanya,” katanya.

Alexander menyatakan instruksi untuk tak

membocorkan kabar itu bukan berasal dari

Terawan, melainkan inisiatifnya. “Tak ada

hubungan dengan jabatan staf khusus.”

Pengumuman resmi oleh pemerintah itu tak

mengejutkan perwakilan Badan Kesehatan Dunia atau WHO di Indonesia, Navaratnasamy

Paranietharan. Melalui siaran pers, Paranietharan mengatakan pengumuman itu bisa membuat mereka mengantisipasi lebih banyak kasus pada masa mendatang. “Kini kondisi ini sudah nyata, sehingga sangat penting bagi kami untuk kegiatan yang telah direncanakan bisa di imenplementasikan secara cepat,” tuturnya.


Pemerintah kembali mengumumkan dua pasien positif corona pada Jumat, 6 Maret lalu. Juru bicara penanganan wabah virus corona, Achmad Yurianto, mengatakan keduanya diduga melakukan kontak dekat dengan dua pasien sebelumnya. Hingga Jumat, 6 Maret lalu, pemerintah telah memeriksa 450 orang. Sejumlah pihak mendesak pemerintah memeriksa lebih banyak orang yang berkontak dengan pasien positif corona. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio, mengatakan pasien positif corona ada kemungkinan sudah menulari orang lain.






SEBELUM Jokowi mengumumkan kasus pertama corona, muncul berbagai keraguan terhadap kemampuan Indonesia mendeteksi keberadaan

virus yang muncul pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, itu. Sejumlah peneliti Harvard University, Amerika Serikat, memprediksi setidaknya sudah ada lima kasus positif corona di Indonesia pada pertengahan Februari lalu. Kesimpulan itu didapat dari perhitungan matematis berdasarkan penerbangan langsung dari Wuhan ke negara lain. Keraguan juga disampaikan Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Ia menyebutkan wilayah Indonesia yang luas membuat upaya pencegahan lebih sulit.


Dari dalam negeri, keraguan mendeteksi corona disampaikan Wakil Kepala Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, sehari sebelum Presiden mengumumkan kasus anyar. Menurut dia, tidak semua lembaga penelitian di Indonesia memiliki kemampuan mendeteksi penyebaran memiliki kemampuan mendeteksi penyebaran Covid-19. Ia juga mengkritik pemerintah karena tidak banyak melibatkan universitas dan lembaga penelitian yang memiliki kemampuan tersebut.


Respons pemerintah terhadap wabah corona juga mendapat sorotan Badan Kesehatan Dunia. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan, dalam pertemuan rutin dengan pejabat perwakilan WHO, pernah ada pertanyaan tentang kemampuan dan keterbukaan

Indonesia dalam kasus corona.


Menurut Anung, delegasi itu menilai jumlah orang yang diperiksa dalam kaitan dengan corona tak sebanding dengan populasi penduduk. “Kok, kalian bisa sedikit begitu yang diperiksa,” kata Anung menirukan keraguan yang muncul dalam rapat. Hal lain yang dipersoalkan adalah data pemantauan flu yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan.


Seorang pejabat Kementerian mengatakan sebenarnya sudah ada data Sentinel Influenza Like Illness (ILI). Ini adalah matriks untuk memantau orang yang mengalami gejala terjangkit corona seperti demam, batuk,sesak napas. Menurut dia, WHO meminta data tersebut rutin diunggah di situs yang bisa diakses publik. Namun, cuma bertahan dua hari, data Sentinel ILI itu tak pernah diperbarui lagi. Dalam Sentinel ILI terbaru yang terbit pada Februari 2020, tak tercantum Indonesia sebagai negara yang rutin melaporkan kasus flu di wilayahnya. Menjawab hal itu, Anung mengatakan telah mengikuti standar WHO dalam memantau kesehatan seseorang ketika menghadapi kasus penyakit menular.


Dua petinggi pemerintahan dan organisasi

internasional yang mengetahui dinamika di

antara para menteri soal penanganan corona

bercerita bahwa Kementerian Luar Negeri

sebenarnya berniat melakukan pembelaan

diplomatik. Namun Kementerian Luar Negeri tak memperoleh penjelasan yang memadai dari Kementerian Kesehatan untuk menjawab

Kementerian Kesehatan untuk menjawab

keraguan komunitas internasional.


Di tengah keraguan itu, Menteri Luar Negeri

Retno Lestari Priansari Marsudi menemui

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom di

Jenewa, Swiss. Pertemuan itu diadakan di sela-sela pertemuan sidang hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 25 Februari lalu. Seorang pejabat yang mengetahui isi pertemuan itu mengatakan Retno sempat menceritakan soal kesulitan pemerintah mendapatkan pemutakhiran data dari Kementerian Kesehatan sendiri.


Dimintai tanggapan soal pertemuan itu, Retno

bercerita bahwa dia berdiskusi dengan Adhanom tentang perkembangan wabah corona secara global. “Beliau mantan Menteri Luar Negeri Ethiopia dan teman baik saya,” ujarnya melalui pesan WhatsApp pada Sabtu, 7 Maret lalu.


Retno juga mengaku membahas rencana evakuasi warga juga mengaku membahas rencana evakuasi warga Indonesia di sejumlah episentrum Covid-19. Setelah bertemu dengan Retno, Adhanom mengingatkan agar tak ada negara yang jemawa meski belum ada kasus corona di wilayahnya. “Tidak boleh ada negara yang berasumsi mereka tidak akan memiliki kasus Covid-19. Itu adalah kesalahan fatal," kata Adhanom.


Setebal 31 halaman, panduan itu memuat antara lain langkah-langkah jika seseorang mengalami gejala terjangkit corona serta kewajiban petugas dalam menjaga perbatasan. Masih dalam protokol yang sama, Istana meminta para pejabat di tingkat pusat dan daerah menyampaikan narasi bahwa corona bisa disembuhkan dan pemerintah

sanggup menangani wabah tersebut.


Kegusaran juga muncul setelah Presiden

mengumumkan kasus corona. Penyebabnya

adalah pernyataan Terawan yang meminta

masyarakat berdoa dan mendirikan salat istigasah untuk menangkal corona. Mantan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto itu juga yang pertama kali membeberkan lokasi tinggal dua pasien corona, yang membuat rumah mereka diberi garis polisi.


Menyadari komentar pembantunya membuat gaduh, Jokowi mengadakan rapat internal sehari setelah mengumumkan kasus corona pada Selasa, 3 Maret lalu, di Istana Negara. Sejumlah indikator di media sosial disorot dalam rapat itu, yang hasilnya sentimen masyarakat justru negatif alias menjadi panik dalam menanggapi pernyataan Terawan. Seorang pejabat yang mengetahui isi rapat itu mengatakan Jokowi sempat menyindir gaya komunikasi Terawan dalam merespons corona.


Jokowi meminta ada juru bicara khusus dalam

menangani virus corona. Presiden meminta figur yang dipilih harus berasal dari Kementerian Kesehatan dan bisa berkomunikasi secara sederhana dalam menyampaikan persoalan. Pilihan Jokowi lantas jatuh pada Achmad Yurianto, yang kebetulan menjabat Kepala Pusat Krisis Kesehatan. Terawan belum bisa dimintai tanggapan tentang kegusaran Istana soal penanganan corona. Ia tak menanggapi permintaan wawancara Tempo. Namun, seusai rapat dengan Presiden hari itu, Menteri Terawan berjanji mendukung anak buahnya yang ditunjuk menjadi juru bicara. “Saya support terus beliau di bidang data sehingga terjadi efisiensi,” ujar Terawan.


Nyatanya, persoalan komunikasi tetap terjadi.

Meminta masyarakat tak panik, Wakil Presiden Ma'ruf Amin pada Rabu, 4 Maret lalu, menyebutkan pemerintah akan menerapkan

sertifikasi bebas corona. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga mengatakan warga negara Korea Selatan, Iran, Italia, dan Jepang wajib membawa sertifikat kesehatan bebas corona jika ingin masuk ke Indonesia. Namun Achmad Yurianto menyatakan sertifikat itu tidak diperlukan. “Tidak perlu, tidak ada gunanya surat keterangan bebas

virus corona,” tuturnya.@_Koordinatberita.com | Sumber Tempo, Edisi 7 Maret 2020



53 tampilan
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page