top of page

Antara Khofifah dan Habib Rizieq


Persoalaannya bukan sekadar soal penerapan prokes. Ini soal sense of crisis, sense of empathy, dan sense of justice. Bagaimana elite harus merasakan bahwa suasana masih serba prihatin, bagaimana elite harus merasakan penderitaan warga karena krisis pandemi ini, dan elite juga harus memberi contoh bahwa semua orang harus diperlakukan sama di depan hukum. (Foto: Ilustrasi )
Persoalaannya bukan sekadar soal penerapan prokes. Ini soal sense of crisis, sense of empathy, dan sense of justice. Bagaimana elite harus merasakan bahwa suasana masih serba prihatin, bagaimana elite harus merasakan penderitaan warga karena krisis pandemi ini, dan elite juga harus memberi contoh bahwa semua orang harus diperlakukan sama di depan hukum. (Foto: Ilustrasi )

Koordinatberita.com| SURABAYA~ Ulang tahun Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa (19/5), viral, jadi heboh, dan mendapat respons dan komen dari berbagai kalangan. Warganet ramai riuh redah mengomentari acara yang dilakukan di rumah dinas gubernur itu.


Sekdaprov Heru Tjahjono sudah pasang badan dengan mengatakan acara itu adalah ‘’surprise party’’ yang tidak diketahui oleh Khofifah, dan murni inisiatif Heru. Meskipun itu surprise party tapi dipersiapkan dengan baik, karena ada dress code hitam-hitam dan ada katering dengan berbagai menu.


Khofifah juga sudah meminta maaf, meskipun dengan banyak catatan. Tapi, api tidak mudah padam. Malah sebaliknya, makin berkobar dan menjadi amunisi politik untuk menyerang Khofifah, sampai ada yang menuntut Khofifah mundur dari jabatannya.


Publik dan warganet belum bisa menerima bahwa acara itu ‘’tidak sengaja’’. Mana ada acara tidak sengaja. Begitu komen seorang warganet. Selamat ultah, Bun, pestanya ramai, ya, ada kerumunan. Sindir warganet lainnya.


Ada juga komen yang pedas. Ultah gubernur boleh sampai malam, kita yang buka warung cari makan diobrak dengan alasan jam malam. Kata seorang warganet yang masygul. Seorang warganet lainnya menyindir, kalau mau melanggar prokes dan tetap aman ya jadilah pejabat rezim, atau paling tidak, jadi pendukung rezim.


Pemerintah Provinsi Jatim sudah membuat klarifikasi bahwa acara itu bukan pesta. Sekdaprov sudah pasang badan, dan Khofifah sudah minta maaf. Tapi, persoalaannya bukan sekadar soal penerapan prokes. Ini soal sense of crisis, sense of empathy, dan sense of justice. Bagaimana elite harus merasakan bahwa suasana masih serba prihatin, bagaimana elite harus merasakan penderitaan warga karena krisis pandemi ini, dan elite juga harus memberi contoh bahwa semua orang harus diperlakukan sama di depan hukum.


Semua alasan yang disampaikan oleh Pemprov Jatim sudah cukup masuk akal. Katanya gubernur tidak tahu acara itu, dan dia datang ke acara sudah lewat jam 20.00 malam, dan tidak ada acara nyanyi-nyanyi. Semuanya masuk akal. Tapi, ketika publik menyoal masalah kepekaan, di situlah masalah menjadi runyam, apalagi kalau dikaitkan dengan isu-isu politik nasional.


Polisi membubarkan kerumunan warga

Ada pesta makan-makan, ada acara santunan kepada anak yatim piatu yang memang menjadi kebiasaan Khofifah di setiap acara apapun. Tapi ada juga penyanyi Katon Bagaskara yang datang. Bahwa Katon adalah sahabat Sekda Heru, itu urusan lain. Publik tetap melihatnya sebagai sebuah pesta.


Banyak kejadian kerumunan yang dibubarkan dengan paksa oleh polisi dan satgas. Anak-anak muda yang nongkrong di kafe dibubarkan karena jam malam. Warung kopi yang buka lewat batas jam juga diminta tutup. Banyak juga resepsi pernikahan yang dibubarkan dengan paksa.


Beberapa hari sebelum insiden ultah Khofifah ini sebuah upacara wisuda sarjana sebuah perguruan tinggi di Mojokerto dibubarkan dengan paksa oleh polisi. Acara wisuda tengah berlangsung, dan wisudawan naik ke pangung untuk menerima ijazah dengan pakaian toga lengkap. Di tengah-tengah acara polisi datang, berbicara di mike, dan memerintahkan semua yang hadir untuk bubar. Seketika acara bubar dan polisi memanggil penanggung jawab acara.


Tindakan tegas semacam ini tentu mendapat apresiasi, meskipun ada juga yang menganggapnya lebay. Tapi, aturan harus ditegakkan tanpa ada diskriminasi. Siapa pun seharusnya diperlakukan sama. Masyarakat masih prihatin, karena selama Lebaran kemarin tidak bisa melakukan mudik. Larangan mudik yang diterapkan dengan sangat ketat membuat masyarakat harus berpikir seribu kali sebelum nekat menerbos barikade polisi. Risikonya kena hukum denda atau putar balik.


Umumnya masyarakat memilih untuk patuh dan tinggal di rumah. Bahwa ada sekelompok orang yang nekat menyerobot barikade, itu adalah hal yang bisa dimaklumi karena banyak di antara mereka yang sudah bertahun-tahun tidak mudik. Toh, secara umum masyarakat mematuhi larangan mudik itu. Sopir bus antar kota dan para pekerja sektor transportasi menjadi korban yang paling merana. Biasanya mereka mendapat tambahan rezeki setahun sekali saat mudik. Tapi, tahun ini lebaran tanpa mudik, dan para pekerja transportasi itu kehilangan rezeki tanpa ada kompensasi.


Pemudik harus putar balik

Acara Idul Fitri yang seharusnya menjadi momen istimewa untuk bersilaturrahim juga diawasi dengan ketat. Salat Id tidak boleh di masjid yang tertutup dan jumlahnya maksimal harus di bawah kapasitas normal. Salat Id di tempat terbuka pun tidak boleh terlalu lama. Halal bihalal hanya boleh dilakukan di areal salat Id dalam waktu yang terbatas.


Selama Ramadhan berbagai kegiatan keagamaan juga dibatasi dengan ketat. Salat tarawih dibatasi kapasitasnya dari kapasitas normal masjid. Pelaksanaan salat juga tidak boleh terlalu lama. Ceramah Ramadan yang biasanya menjadi bagian dari salat Tarawih di banyak masjid terpaksa ditiadakan demi menjaga prokes. Kalau di tahun-tahun sebelumnya masyarakat kaget kare aada Salat Tarawih yang viral karena ngebut 23 rakaat diselesaikan dalam waktu tujuh menit, maka tahun model salat Tarawih ngebut itu terjadi di hampir semua masjid. Tentu tidak sengebut 23 menit dalam tujuh menit, tapi secara umum pelaksanaan tarawih tahun ini lebih cepat dibanding sebelumnya.


Malam takbiran yang biasanya menjadi ajang dakwah dengan pelaksanaan takbir keliling, kali ini juga dilarang. Polisi dan satgas sangat tegas mengadang rombongan takbir keliling yang nekat. Takbiran di masjid pun dibatasi waktunya sampai maksimal jam 21 00. Dalam tradisi Lebaran biasanya masjid-masjid banyak yang melakukan takbiran sampai malam sebagai tanda kebahagiaan dan kemenangan. Tapi tahun ini terasa sepi karena masjid-masjid sudah tutup sebelum malam.

Halal bihalal yang menjadi tradisi khas umat Islam Indonesia juga dilarang total. Biasanya, halal bihalal berlangsung selama sebulan penuh sampai selesai bulan Syawal. Ada halal bihalal keluarga, ada hahal bihalal kampung atau kompleks perumahan, ada halal bihalal keluarga, teman kuliah, teman kantor, teman grup Whatsapp, teman gowes, dan masih banyak lagi. Tahun ini semua distop, dan hanya boleh dilakukan secara daring.


Acara hahal bihalal keluarga yang biasanya menjadi ajang silaturahim setahun sekali, tahun ini pun dilarang dan dibatasi hanya maksimal lima orang. Walhasil tidak ada acara halal bihalal keluarga, karena rata-rata halal bihalal keluarga Indonesia dihadiri lima puluh sampai seratus anggota keluarga.


Itulah sederetan keprihatinan yang dirasakan masyarakat selama Ramadan dan Idul Fitri tahun ini. Masyarakat patuh meskipun dengan keterpaksaan. Masyarakat ingin agar pandemi ini cepat berlalu dan hidup menjadi normal lagi. Masyarakat rela mengorbankan kerinduan untuk pulang kampung demi untuk menjaga supaya tidak ada transfer virus dari kota ke kampung. Masyarakat rela berkorban apa saja supaya semua segera balik ke normal.


Habib Rizieq dituntut 10 bulan kasus kerumunan Megamendung. Yang diinginkan oleh masyarakat adalah rasa empati, pemahaman terhadap pengorbanan yang sudah dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat menginginkan juga agar elite-elite pemerintahan punya kesadaran krisis, bahwa pandemi belum selesai, dan semua harus sama-sama prihatin dan menahan diri. Acara itu diselenggarakan ketika masih dalam suasana Idul Fitri di bulan Syawal dan larangan untuk mengadakan halal bihalal masih diberlakukan.


Dalam konteks seperti itulah acara ulang tahun Khofifah terasa mencederai hati masyarkat, karena terlihat tidak ada empati di situ. Tidak ada rasa krisis di situ. Dan, yang lebih penting lagi, hal seperti ini selalu menjadi isu politik yang mudah menjadi kontroversi karena sensitifitasnya tinggi. Bersamaan dengan kasus Khofifah ini publik tengah melihat detik-detik akhir persidangan Habib Rizieq. Tidak tanggung-tanggung, Habib Rizieq tengah menghadapi tiga dakwaan yang berhubungan dengan pelanggaran protokol kesehatan.


Dalam kasus kerumunan di Petamburan Habib dituntut hukuman bui dua tahun. Dalam kasus kerumunan di Megamendung tuntutannya sepuluh bulan. Dan masih harus ditunggu adalah tuntutan dalam kasus dugaan pemalsuan hasil tes swab di RS Ummi Bogor.

Dalam kasus Petamburan, Habib Rizieq sudah membayar denda sesuai peraturan, tapi hal itu tidak menghapuskan tuduhan pidana. Ada rasa sense of justice dari masyarakat yang mempertanyakannya. Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan membuat acara yang menimbulkan kerumunan. Acara mantu tokoh PDIP, Said Abdullah, di Sumenep menimbulkan kerumunan puluhan ribu orang. Tidak ada tindakan terhadap dugaan pelanggaran itu.

Kerumunan di acara ulang tahun Khofifah memang tidak besar. Tapi hal itu menjadi isu besar karena ada sense of crisis yang diabaikan, ada sense of empathy yang disingkirkan, dan yang lebih penting, ada  kekecewaan karena sense of justice, rasa keadilan, yang ditelantarkan.


Kekecewaan masyarakat tercermin dari berbagai unggahan kritis warganet. Ada yang keras ada pula yang nelangsa.

Tapi ada juga yang kreatif, memelesetkan nama Khofifah menjadi “Covidah Indar Parawansa”.@_**


Sumber: Dr. Dhimam Abror Djuraid

26 tampilan
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page