top of page

Awas! Pembentukan Sekutu Kejahatan di Tubuh KPK dan Noktah Hitam Kader Polisi di KPK

Diperbarui: 30 Apr 2021

“Dibaratkan KPK saat ini Sudah Seperti Kantor Kepolisian Cabang Kuningan”

Beberapa pegawai KPK yang berasal dari kepolisian berulah. Pentingnya KPK memperbanyak penyidik independen kembali mengemuka. Ilustrasi

Koordinatberita.com| OPINI~ Kurnia Ramadan Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengalami krisis kepercayaan publik. Para penyidik yang seharusnya melawan korupsi malah terlibat dalam tindak pidana tersebut.


Seorang penyidiknya, Stepanus Robin Pattuju, menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 1,5 miliar dari seorang kepala daerah. Penyidik asal Kepolisian RI itu bahkan diduga sudah sering melakukannya. Kejadian ini semakin melengkapi catatan kelam KPK pasca- perubahan regulasi dan dipimpin komisioner

baru.


Sebelum masuk lebih jauh pada substansi perkaranya, penting untuk mengingatkan bahwa kejadian serupa pernah terjadi di komisi antirasuah itu. Sekitar 2005, penyidik lain, Suparman, terjaring lembaganya sendiri karena terbukti memeras saksi dalam sebuah perkara. Suparman kemudian diganjar hukuman 8 tahun penjara. Meskipun jarang, kejadian ini semakin mendegradasi dan bahkan merobohkan citra KPK yang dikenal sebagai lembaga yang berintegritas di mata publik.


Dilihat lebih lanjut, ada kesamaan di antara dua penyidik lancung KPK itu, yakni berasal dari institusi Polri. Berdasarkan pengamatan ICW, sebelum Robin dan Suparman, setidaknya ada empat pegawai asal Korps Bhayangkara yang juga berulah ketika bekerja di KPK. Pertama, Aris Budiman, bekas Direktur Penyidikan KPK, dianggap melakukan pembangkangan tatkala hadir dalam forum rapat panitia angket DPR tanpa persetujuan komisioner. Kedua, Roland dan Harun, dua penyidik yang diduga merusak barang bukti perkara suap uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan.


Ketiga, Firli Bahuri, mantan Deputi Penindakan KPK yang berulang kali bertemu dengan saksi tanpa surat tugas dari komisioner. Belakangan, Firli terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Berangkat dari masalah kader Polri yang

bekerja di KPK, rasanya desakan untuk memperbanyak penyidik independen mesti digaungkan kembali. Selain karena Mahkamah Konstitusi sudah memperjelas kewenangan KPK dalam merekrut pegawai penindakan di luar Polri, terdapat isu loyalitas ganda. Ketika nanti masa bakti pegawai asal Polri berakhir di KPK, mereka akan kembali mengabdi pada Korps

Bhayangkara.


Hal itu menimbulkan kekhawatiran bahwa loyalitas anggota Polri tidak sepenuhnya berada di KPK, melainkan lebih besar kepada institusi asalnya. Pada bagian lain juga terdapat isu konflik kepentingan saat KPK mengusut perkara korupsi yang melibatkan oknum Polri. Namun harapan itu rasanya kian sulit untuk direalisasi pada masa kepemimpinan komisioner saat ini. Alih-alih memperbanyak pegawai independen, KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri malah memperbanyak anggota Polri. Saat ini saja setidaknya ada sembilan perwira tinggi Polri yang menduduki jabatan strategis.

Selain Ketua KPK, deretan jenderal polisi itu mengisi kursi Deputi Penindakan, Direktur Penyelidikan, Direktur Penyidikan, hingga Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat. Banyak pihak yang mengibaratkan KPK saat ini sudah seperti kantor kepolisian cabang Kuningan.

Ada beberapa hal penting yang harus segera dilakukan dalam perkara Robin. Pertama, KPK harus menelusuri transaksi haram lain yang dilakukan Robin. Berdasarkan fakta yang didapatkan KPK, selain menerima uang dari Wali Kota Tanjungbalai, penyidik itu diduga mendapat Rp 438 juta dari pihak lain.


Kedua, pengusutan perkara ini mesti juga menyasar potensi keterlibatan penyidik KPK lainnya. Dengan ketatnya syarat untuk menghentikan pengusutan perkara, bukan tidak mungkin Robin telah membentuk sekutu kejahatan di tubuh KPK.


Ketiga, KPK harus punya keberanian untuk mengusut tuntas dugaan keterlibatan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Azis Syamsuddin. Dalam siaran pers KPK, peran Azis terlihat sangat mencolok dalam pusaran perkara ini, dari mengenalkan Robin dengan Wali Kota Tanjungbalai hingga permintaan agar penyidik tersebut tidak menaikkan perkara kepala daerah itu ke tahap penyidikan.


Dalam konteks ini pun muncul banyak pertanyaan penting dari mana seorang Wakil Ketua DPR dapat mengetahui seluk-beluk perkara di KPK? Bukankah penanganan perkara, terlebih bila masih pada tahap penyelidikan, termasuk informasi yang dikecualikan? Selain itu, bagaimana Azis bisa mengenal penyidik KPK? Apakah pertemuan pada Oktober 2020 antara Azis dan Robin itu merupakan perjumpaan pertama ataukah sebelumnya sudah intens menjalin

komunikasi?

Jika apa yang dinyatakan KPK itu benar, Azis layak jadi tersangka dengan Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pembantuan dalam konteks kejahatan korupsi. Sederhananya, tanpa peran dan bantuan Azis, tindak pidana suap dan gratifikasi Robin tidak mungkin terjadi.

Karena itu, ketika nanti politikus Golkar itu menjadi tersangka, hukumannya bisa sama dengan Robin, yakni maksimal penjara seumur hidup.

Pengungkapan perkara ini sekaligus menjadi ujian bagi KPK. Sebab, dalam setahun terakhir, ketika ada keterlibatan politikus dalam suatu perkara, agar penyidik tersebut tidak menaikkan perkara kepala daerah itu ke tahap penyidikan. Dalam konteks ini pun muncul banyak pertanyaan penting dari mana seorang Wakil Ketua DPR dapat mengetahui seluk-beluk perkara di KPK?


Bukankah penanganan perkara, terlebih bila masih pada tahap penyelidikan, termasuk informasi yang dikecualikan? Selain itu, bagaimana Azis bisa mengenal penyidik KPK? Apakah pertemuan pada Oktober 2020 antara Azis dan Robin itu merupakan perjumpaan pertama ataukah sebelumnya sudah intens menjalin komunikasi? sering kali semangat lembaga anti-rasuah itu mengendur.


Keempat, Dewan Pengawas KPK dan Majelis Kehormatan DPR harus mengambil inisiatif untuk turut mengusut perkara ini. Tentu dalam hal ini Dewan Pengawas memeriksa Robin dan Majelis Kehormatan menelisik dugaan pelanggaran etik dari Azis. Jika keduanya terbukti, Robin dan Azis layak dijatuhi sanksi berat. Bahkan, baik Polri yang menjadi institusi asal Robin maupun Partai Golkar untuk Azis juga mesti didorong untuk segera memberhentikan dua orang tersebut karena telah mencoreng marwah lembaga.


Pada akhirnya, noktah hitam di tubuh KPK kian terlihat jelas. Jika tidak ada tindakan konkret untuk kembali membersihkannya, jangan salahkan masyarakat jika tiba pada satu kesimpulan bahwa pemerintah sedang membangun institusi pemberantasan korupsi "baru" sembari perlahan-lahan menyingkirkan KPK.@_**


Sumber: Koran Tempo EDISI, 28 APRIL 2021

10 tampilan
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page