top of page

Polisi Terlibat Narkotik, Saling Tutup Aib Anggota, Tradisi Berbahaya di Tubuh Polri


Koordinatberita.com| JAKARTA~ Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat sudah sepantasnya mencopot Komisaris Yuni dari jabatannya. Namun pemecatan saja belum cukup. Kepolisian harus mengusut tuntas kejadian memalukan ini sampai jelas betul apakah Yuni dan kawan-kawan sekadar pemakai narkotik atau lebih dari itu...?


Bila Yuni dan anak buahnya terbukti sebagai pecandu narkotik, mereka wajib menjalani rehabilitasi. Namun, bila terbukti mengedarkan narkotik, meski itu hanya untuk digunakan oleh sesama polisi, mereka harus mendapat hukuman yang maksimal. Hukuman bagi polisi yang terlibat kejahatan narkotik seharusnya lebih berat dari hukuman bagi orang biasa yang melakukan kejahatan serupa.


Penangkapan Komisaris Yuni dan sebelas anak buahnya menambah panjang daftar polisi yang tersangkut penyalahgunaan narkotik. Sepanjang Januari hingga Oktober 2020, Polri mengklaim telah memecat 113 anggotanya, sebagian besar di antaranya karena tersangkut kasus narkotik. Data ini menunjukkan betapa narkotik sudah sedemikian dalam menggerogoti kepolisian.


Ibarat sapu kotor, kepolisian yang belepotan dengan kasus narkotik tak mungkin bisa membersihkan masyarakat dari peredaran narkotik. Masalahnya makin runyam karena hukuman bagi polisi yang mengkonsumsi narkotik kebanyakan sebatas sanksi disiplin atau pencopotan jabatan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Sepanjang tahun lalu, misalnya, ada 51 anggota Kepolisian Daerah Sumatera Barat yang terlibat kasus narkotik, tapi hanya tujuh orang yang dipecat dan dua orang yang dipidana.


Agar penyalahgunaan narkotik di kalangan polisi tak terus berulang, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo seharusnya lebih serius melakukan pembenahan ke dalam. Kelemahan aturan, standar operasi, dan pengawasan atas penanganan kasus narkotik harus diperbaiki. Pembenahan, misalnya, bisa dimulai dengan memastikan penyitaan barang bukti kejahatan narkotik betul-betul aman dari kebocoran. Tanpa pengawasan ketat atas penyitaan dan penghancuran bukti kasus narkotik, polisi yang nakal bisa dengan mudah memperoleh barang haram tersebut. Untuk mencegah penyalahgunaan barang bukti, anggota kepolisian yang menangani kasus narkotik mesti secara berkala menjalani tes urine.


Singkat kata, ketika menyerukan perang melawan narkotik kepada masyarakat, kepolisian seharusnya tidak lupa untuk memerangi narkotik di dalam rumahnya sendiri.


Namun dalam persoalan lain yang merupakan aib mencoreng wajah Korps Bhayangkara saling ttup Aib Anggota dan ini tradisi berbahaya di tubuh Polri.


Misalnya beberapa ksus penembakan terhadap enam pencuri sarang burung walet di Bengkulu sudah delapan tahu berlalu. Kasus yang melibatkan salah seorang penyidik KPK ini, Kompol Novel Baswedan, kembali mencuat ke permukaan. Novel hendak diseret oleh institusi yang membesarkannya di tengah kasus penyidikan Simulator SIM Korlantas Polri.


Lalu, apakah menyimpan aib antar sesama anggota kepolisian sudah menjadi tradisi di tubuh Korps Bhayangkara untuk mejadi senjata bila suatu waktu anggota tersebut melakukan pelanggaran?


"Yang berbahaya lagi adalah, apabila semua polisi memiliki dan menyimpan kasus rekan sesama polisi, bahkan tidak menutup kemungkinan sekalian bersama barang buktinya. Lalu, ini disimpan sebagai tabungan. Suatu saat, jika ada masalah pribadi atau masalah yang ditimbulkan oleh anggota Polri yang merugikan korp, tabungan kasus itu bisa dibuka," kata peneliti dari Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B Nahrawardaya, kepada detikcom, Minggu (7/10/2012).


Dengan demikian, imbuh Mustofa, langkah saling menjaga aib, adalah langkah paling aman bagi mereka (anggota Polri). "Meskipun harus berbohong pada publik sekalipun," ujarnya.


Menjadi wajar siapapun anggota Polri yang bermasalah di masa lalunya bisa dibongkar kejahatannya di masa mendatang.


"Akibatnya bisa diduga, setiap kepala anggota polisi bisa saja menyimpan banyak rahasia sesama kawannya. Jika tidak ingin saling membuka, ya harus saling menutup. Gampangnya, upaya menutupi perbuatan jahat oknum anggota Polri justru akan dianggap wajar di sana, karena itu dilakukan demi menjaga kepentingan yang lebih besar, yakni nama baik polisi," jelas Mustofa.


Berkaca dari kasus Novel, Mustofa mengkhawatirkan adanya kriminalisasi terhadap rakyat sipil. Dia mengibaratkan polisi dengan begitu mudahnya mengkriminalisasi Novel dengan berlandaskan kasus yang terjadi delapan tahun lalu. Tentu ini ditakutkan menjadi pintu masuk polisi dalam mengkriminalisasi sipil.


"Mengkriminalisasi polisi saja segitu mudah dan terbukanya, apalagi saat mengkriminalisasi masyarakat awam," ujarnya.


Meski demikian, bila ada suara desakan pembubaran korps baju coklat hanya karena berseteru dengan KPK, polisi tidak akan mungkin dibubarkan. Ibarat dua sisi mata uang, polisi bisa dihujat habis-habisan akibat tingkah oknum-oknumnya, di lain sisi masyarakat sudah pasti membutuhkan kehadiran anggota kepolisian.

"Posisi tawar polisi di masyarakat cukup tinggi," terang Mustofa@_**

 

13 tampilan
Single Post: Blog_Single_Post_Widget
Recent Posts
Kami Arsip
bottom of page