KOORDINATBERITA.COM| Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyampaikan bahwa cara pandang lembaga yang dipimpinnya dalam pemberantasan korupsi selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-Maruf Amin didasari oleh UU 30/2002 yang telah diubah menjadi UU 19/2019.
“Yang memberikan tugas pokok kepada KPK untuk pemberantasan korupsi melalui ruh pendidikan masyarakat, pencegahan melalui perbaikan sistem, penindakan yang profesional dan akuntabel serta penghormatan Hak Asasi Manusia, serta bersinergi dengan seluruh rakyat, segenap stake holder dan kamar kamar kekuasaan dalam orkestrasi pemberantasan korupsi,” kata Firli dalam keterangan tertulis yang diadopsi Koordinatberita.com pada Minggu (23/10).
Firli manyampaikan, perubahan undang-undang KPK selain mengubah cara pandang namun juga harus dipahami hal tersebut adalah bagian dari upaya politik negara untuk menciptakan pemberantasan korupsi yang lebih luas, masif dan orkestratif sifatnya.
“Itulah sebabnya tiga tahun terakhir kami merasa telah berkoordinasi dengan banyak sekali pihak tidak saja eksekutif yang dipimpin oleh presiden Jokowi dan Maruf Amin tapi juga lembaga lembaga yang lain termasuk di dalamnya partai politik sebagai intinya,” urai Firli.
KPK dalam periode ini, kata Firli, dirinya berkesempatan untuk mengidentifikasi persoalan korupsi secara lebih luas dan mengakar. Oleh karena itulah, kata Firli, KPK mengumpulkan partai politik untuk membangun budaya baru dalam politik. Selain, lanjut dia, mengaktifkan penindakan kepada elemen kekuasaan.
“Tapi yang paling penting adalah melakukan pendidikan antikorupsi secara sinergi dan kolaborasi dengan seluruh kamar-kamar kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif ) dan partai politik untuk mewujudkan budaya antikorupsi dalam pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK tidak terpengaruh dengan kekuasaan manapun,” beber Firli.
Disamping itu, kata Firli, KPK juga aktif menindaklanjuti kepemimpinan presiden Jokowi dalam forum Anti Corruption Working Group (ACWG) G20 yang artinya adalah juga kepemimpinan KPK dalam isu pemberantasan korupsi di dunia.
Oleh karena itu, bisa diartikan dalam tiga tahun ini orkestrasi pemberantasan korupsi telah dilakukan KPK secara lebih luas pada tataran nasional dan bahkan juga pada tataran global.
Firli menegaskan kalau KPK akan terus bekerja dalam koridor hukum karena segala sesuatu yang terjadi di KPK adalah proses hukum. Hukum dijadikan sebagai panglima adalah landasan KPK bekerja.
Sebab, kata Firli amanat presiden kepada KPK dalam Pidato kenegaraan terakhir ialah perlunya perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat Indonesia harus terus diperkuat. Jelas disampaikan perlindungan tersebut perlu ditempuh melalui proses hukum yang ditegakkan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu
“Itulah sejatinya jiwa KPK, tanpa pandang bulu dalam memberantas Korupsi, dan dengan demikian presiden menyadari pentingnya peran KPK dalam tatanan pemerintahan,” imbau Firli menekankan.
Sebab, Firli membeberkan, sudah begitu banyak pelaku korupsi yang dilakukan penahanan oleh KPK. Di tahun 2020, terdapat 114 orang, tahun 2021, 115 orang. Tahun 2022 sampai dengan Oktober tercatat sudah 108 orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK.
“Sedangkan untuk pengembalian kerugian negara terus menunjukkan peningkatan. Asset recovery tahun 2022 sampai 20 Oktober sebesar Rp 351.86 milyar, tahun 2021 Rp 307.76 milyar dan tahun 2020 Rp 294.7 milyar,” ungkap Firli.
Hal lainnya, ujar Firli, menaruh komitmen negara untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama. Itulah keputusan politik hukum atau "Rechtspolitiek" Presiden Jokowi untuk KPK.
Firli berharap pesan-pesan presiden tidak hanya dipedomani oleh KPK, tetapi semua pihak agar bisa membiarkan KPK bekerja dengan seluruh proses hukum yang pasti bisa dipertanggung jawabkan dan diatur oleh UU.@_Redaksi
Commentaires